![]() |
Sumber Gambar: Portal Berita Riau |
Tiga bulan akhir ini sering ke Salatiga dan balik lagi ke Jombang. Bukan tanpa sebab pemilik blog melakukan perjalanan ini. Dari adik yang sakit hingga masalah keluarga-lah yang menjadi penyebabnya. Semoga musibah yang menjadi beban pikiran bertambah ini ada hikmahnya. Amin.
Sengaja, selama hampir tiga bulan ini, pemilik blog tidak mengaktifkan BBM dengan alasan menghemat baterai selama perjalanan. Ketika sedang santai di rumah Salatiga, dia mengaktifkan BBM-nya lagi. Tidak lama setelah diaktifkan, dia mendapatkan pesan dari teman satu pesantren di Paculgowang Jombang. Ternyata, pesannya berupa pembahasan fiqih. Inti dari pembahasannya adalah mengenai menikah dengan wanita hamil karena zina. Pembahasan ini memunculkan pertanyaan, sah dan harus diulangkah pernikahannya ketika sudah melahirkan?.
Beberapa kitab dibuka agar mendapatkan jawaban. Dari semua yang dibuka, kami mendapatkan jawaban yang jelas dari kitab Bujairomi ala al-Khotib ¹. Kesimpulan dari yang ia baca adalah pernikahannya orang hamil karena zina dihukumi sah dan tidak perlu diulang ketika sudah melahirkan.
Kesimpulan tersebut tidak dipublikasikan langsung lewat blog ini. Bukan tanpa alasan pemilik blog tidak langsung memublikasikan. Karena, bila hubunganya dengan farji (kemaluan perempuan), fiqih sangat berhati-hati menanggapinya. Akhirnya, dia menginformasikan kesimpulannya kepada wali kelas sekolah diniahnya (sekolah berbasis agama). Tidak lama setelah kesimpulannya dibaca, Beliau memberi keputusan, bahwa memang benar kesimpulan yang diutarakan oleh pemilik blog ini.
Setelah mendapatkan keputusan dari wali kelasnya, pemilik blog langsung memublikasikan jawaban pertanyaan tadi lewat blog ini. Dan Anda sebagai pembaca, akhirnya juga bisa mengetahui jawabannya.
والله اعلم بالصواب
1. Syeikh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairamy, al-Bujairami ala al-Khotib, Vol. IV (Cet. 1; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996 M/ 1417 H), hal. 388.
وَالْمُرَادُ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشَرٌ مِنْ الْأَيَّامِ بِلَيَالِيِهَا، لَكِنْ بَعْدَ وَضْعِ الْحَمْلِ إنْ كَانَتْ حَامِلًا مِنْ شُبْهَةٍ لِأَنَّ عِدَّةَالْحَمْلِ مُقَدَّمَةٌ تَقَدَّمَتْ أَوْ تَأَخَّرَتْ عَنْ الْمَوْتِ، فَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا مِنْ زِنًا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِمُضِيِّ الْأَشْهُرِ مَعَ وُجُودِهِ لِأَنَّهُ لَا حُرْمَةَ لَهُ لِهَذَا لَوْ نَكَحَ حَامِلًا مِنْ زِنًا صَحَّ نِكَاحُهُ قَطْعًا وَجَازَ لَهُ الْوَطْءُ قَبْلَ الْوَضْعِ عَلَى الْأَصَحِّ، وَلَوْ زَنَتْ فِي الْعِدَّةِ وَحَمَلَتْ مِنْ الزِّنَا لَمْ تَنْقَطِعْ الْعِدَّةُ وَلَوْ جَهِلَ حَالَ الْحَمْلِ حُمِلَ عَلَى أَنَّهُ مِنْ زِنًا كَمَا نَقَلَهُ الشَّيْخَانِ عَنْ الرُّويَانِيِّ وَبِهِ أَفْتَى الْقَفَّالُ، وَبِهِ جَزَمَ صَاحِبُ الْأَنْوَارِ.
وَقَالَ الْإِمَامُ: يُحْمَلُ عَلَى أَنَّهُ مِنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ تَحْسِينًا لِلظَّنِّ وَبِهِ جَزَمَ صَاحِبُ التَّعْجِيزِ قَالَ شَيْخُ مَشَايِخِنَا: وَقَدْ يُجْمَعُ بَيْنَهُمَا بِحَمْلِ الْأَوَّلِ عَلَى أَنَّهُ كَالزِّنَا فِي أَنَّهُ لَا تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ كَمَا تَقَرَّرَ وَالثَّانِي عَلَى أَنَّهُ مِنْ شُبْهَةٍ فَلَا تُحَدُّ تَجَنُّبًا عَنْ تَحَمُّلِ الْإِثْمِ بِقَرِينَةِ آخِرِ كَلَامِ قَائِلِهِ. اهـ. سم.
0 komentar:
Post a Comment