Kali ini Mbah Blog tidak akan membuat artikel. Si Mbah hanya ingin membagi tentang pesantren yang ditempatinya. Ini juga bukan sebuah profil utuh pesantren melainkan yang dimuat Jawa Pos Radar Jombang (08/12/2016). Kalau menurut Imam Hasan as-Syadzily, ini sebagian dari tahaduts bin ni'mah agar syukurnya lebih terasa. Disisi lain, sebagai kenangan kalau nanti Si Mbah tenguk-tenguk sambil melihat cucu main di depan rumah. Bila ingin bernostalgia, tinggal buka blog saja, atau nanti ketika di alam kubur sambil menunggu datangnya hari kiamat, Si Mbah bisa berbagi pada teman se alam kuburnya. AHAY.....ha ha ha
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al-Ma’ruf di
Desa Bandung, Kecamatan Diwek, Jombang
Jombang - Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al-Ma’ruf merupakan salah satu pondok
pesantren di Kota Santri yang membimbing santri untuk menjadi penghafal Al-Qur’an.
Pondok pesantren yang berdiri sejak 18 tahun lalu itu terletak di Dusun
Gebangmalang, Desa Bandung, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Namun kegiatan
mengaji ini ada beberapa tahun terakhir.
“tidak ada cita-cita atau niatan untuk mendirikan pondok pesantren sama
sekali. Dulu pondok hanya berupa gubuk beratapkan daduk saja,” ujar Ustadz
Abdun Nasyith, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an
Al-Ma’ruf.
Di gubuk ini awalnya hanya terdapat sekitar 13 santri yang belajar ilmu
agama sekaligus menghafal Al-Qur’an. Selain mengaji, dulu santri juga belajar
pencak silat. Namun seiring perkembangan waktu, pencak silat tidak diajarkan
lagi kepada santri. “Dulu mengaji Al-Qur’an dilakukan di gubuk setiap selesai
salat maghrib dan subuh saja,” ungkapnya.
Setelah melihat jumlah santri semakin banyak, barulah didirikan musala yang
berasal dari murni swadaya masyarakat. Pusat kegiatan pun akhirnya dilakukan di
musala ini. Dinamakan pesantren Tahfidzul Qur’an Al-Ma’ruf lantaran menekankan
hafalan Al-Qur’an terhadap para santri.
“Sedangkan kata Al-Ma’ruf ini diambil dari nama kakek istri saya yaitu KH
Muhammad Ma’ruf dari Kedunglo Kediri,” tuturnya. Untuk asrama putra, baru
didirikan ketika jumlah santri semakin banyak. Sedangkan asrama putri masih
menempati bangunan gubuk lama yang berdinding bambu. Para santri muqim
(tinggal, Red) di pesantrennya mayoritas sudah lulus SMA.
“Namun ada juga yang masih duduk di bangku SD, SMP dan SMA. Ada juga yang
melanjutkan kuliah,” lontarnya. Kini terdapat 41 santri yang muqim di
pesantren. “Santri laki-laki ada 32 anak, sedangkan santri perempuan ada 9
anak. Itu yang muqim saja,” lanjutnya.
Namun jumlah santri laju yang datang untuk mengaji namun tidak tinggal di
pesantren jumlahnya cukup banyak. Para
santri yang muqim kebanyakan berasal dari luar daerah seperti pulau Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan sebagainya. Sedangkan santri laju rata-rata berasal
dari Jombang sendiri.
“Di lingkungan pesantren ini memang
belum ada lembaga pendidikan formal sendiri,” paparnya. Sehingga para santri
bebas untuk sekolah dimana saja sesuai dengan keinginan masing-masing. Ia pun
tak segan menceritakan aktifitas
sehari-hari para santri kepada Jawa Pos Radar Jombang kemarin (7/12).
“Kegiatan rutin para santri adalah setor hafalan Al-Qur’an setiap hari usai
salat maghrib dan subuh berjamaah,”
bebernya. Mereka juga wajib mengikuti darus Al-Qur’an bersama usai salat isak
berjamaah selama 60 menit. Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pengajian kitab
kuning.
“Kalau santri masih berstatus pelajar diberikan waktu belajar untuk
mempelajari pelajaran sekolah. Kegiatan tersebut dilakukan sebelum waktu
istirahat,” imbuhnya. Namun mereka yang sudah lulus SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi akan fokus
mempertajam hafalan Al-Qur’an. Selain itu, ada pula beberapa kegiatan lain
seperti istighosah, tahlil, banjari dan sebagainya.
Ia pun menambahkan jika pihak pesantrennya tidak pernah menarget hafalan
para santri. “Tidak ada target harus hafal Al-Qur’an dalam waktu tertentu,
semua dikembalikan kepada kemampuan santri itu sendiri. Kalau rajin otomatis ya
cepat hafal,” sambungnya. Meski demikian, pihaknya tetap mengimbau kepada
santri untuk menghafal Al-Qur’an semaksimal mungkin. Rata-rata, santri hafal
Al-Qur’an dalam kurun waktu 3-4 tahun. Namun mereka yang rajin menghafal jauh
lebih cepat dari waktu tersebut.
Tak hanya Al-Qur’an, akhlak santri juga benar-benar dibina. Tak hanya
diajarkan melalui pengajian kitab kuning, perilaku santri ini selalu diawasi
dan dipantau agar mereka tidak salah melangkah. “Kalau ada yang melakukan
kesalahan, hukumannya adalah membaca Al-Qur’an. Sesuai dengan tujuan awal
pendirian pondok ini untuk mencetak generasi penghafal Al-Qur’an,” pungkasnya. (ric/bin)
Bina Santri lebih Mandiri
Tak hanya menghafal Al-Qur’an, santri Ponpes Tahfidzul Qur’an Al-Ma’ruf
juga dibiasakan untuk hidup mandiri dan rajin beribadah sejak dini. Oleh karena
itu, berbagai kegiatan dilakukan untuk memupuk kedua hal tersebut.
“Santri wajib mengikuti salat lima waktu berjamaah di musala pondok kecuali
salat duhur. Sebab banyak santri yang sekolah atau kuliah, salat berjamaahnya
di sekolah masing-masing,” tambah Ustadz Abdun Nasyith, pengasuh.
Bapak enam anak ini menambahkan jika santri juga dibiasakan untuk mengurus
diri sendir. “Kalau mencuci baju dilakukan sendiri. Kecuali santri yang masih
SD,” lanjutnya. Selama ini dalam mengajar dan mendidik santri dilakukan oleh
pengasuh pondok. Baginya santri adalah amanat dan ia bertanggungjawab penuh.
“manusia itu diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah. Oleh karena itu
ibadah harus diutamakan,” tuturnya. Bahkan amal yang pertama kali dihisab
adalah ibadah salat lima waktu. Hal inilah yang diajarkan terhadap santri agar
mengutamakan kehidupan akhirat, namun tidak mengabaikan kehidupan dunia.
Disamping itu, perilaku sehari-hari juga tetap harus berpedoman terhadap
Al-Qur’an dan Hadits. “Perlakuan kepada santri disesuaikan dengan usianya.
Kalau santri laju dewasa sudah mampu beribadah dengan baik,” lontarnya.
Sedangkan santri yang masih muda masih perlu dibina. Sehingga para santri
muqim terikat dengan berbagai peraturan pesantren.
“Banyak santri yang sudah bapak-bapak tapi masih bersemangat untuk mengahafalkan
Al-Qur’an,” ucapnya. Menurutnya, motivasi mereka cukup tinggi sehingga di usia
yang tak lagi muda namun masih ada keinginan kuat menghafal Al-Qur’an. Mereka
biasanya mengaji pada pukul 21.00 WIB.
“Meski tidak terikat peraturan, mereka tetap datang tanpa disuruh. Hal ini
tentu perlu diapresiasi,” imbuhnya. Seusai mengaji dan setor hafalan, para
santri yang sudah berumah tangga ini biasanya diskusi dan sharing
masalah sehari-hari. Sebab kehidupan di masyarakat lebih kompleks dibandingkan
kehidupan di lingkungan sekolah dan pondok pesantren. (ric/bin)
Tak Tambahi Sederek Kang Mampir Teng Gubuk Kulo
Request Foto...? Boleh Kirim gan...
0 komentar:
Post a Comment